Wacana Pemotongan Zakat ASN Tidak Tepat

09-02-2018 / KOMISI XI
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan, foto : jaka/hr

 

 

 

Diskursus pemotongan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) sebesar 2,5 persen untuk zakat saat ini dinilai tidak tepat. Diskursus ini akan menimbulkan polemik, karena diusulkan di tahun politik. Publik bisa saja menduga bahwa pemotongan ini hanya untuk menutup defesit anggaran.

 

“Ada anggapan pemerintah sedang mencari dana untuk menambal defisit anggaran saat ini. Wacana ini sangat tidak tepat dan perlu kajian berulang-ulang. Apalagi itu dicetuskan di tahun politik. Sangat sensitif sehingga perlu kehati-hatian penuh, karena potensinya tidak sedikit, bisa mencapai di atas Rp 200 triliun,” tegas Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan saat diwawancara lewat sambungan telepon, Jumat (9/2/2018).

 

Pemerintah sendiri berencana menerbitkan Perpres untuk kewajiban zakat ASN. Zakat, kata Heri, merupakan wilayah privat yang bersifat sukarela. Tidak semua ASN wajib berzakat. Ada kelompok ASN yang justru berhak menerima zakat. Diskursus ini seperti tidak sensitif terhadap kesanggupan ASN. Disebutkan bahwa ASN yang wajib dipungut zakat yang penghasilannya setara 85 gram emas setahun.

 

“Kalau kita pakai patokan harga emas per 7 Februari 2018 sebesar Rp 576.511 per gram, maka emas 85 gram itu setara dengan penghasilan Rp 49.003.435 per tahun atau per bulannya sebesar Rp 4 juta. Artinya, ASN dengan penghasilan minimal Rp 4 juta per bulan dikenai potongan zakat. Dengan gaji sebesar itu banyak ASN yang tidak cukup memenuhi kebutuhannya karena alasan macam-macam, dari kebutuhan harian, bayar sekolah anak, sampai bayar kredit, dan utang,” ungkap Anggota F-Gerindra DPR ini.

 

Menurut Heri, mekanisme pemotongan untuk zakat, sebaiknya ditentukan setelah jumlah pendapatan ASN dipotong semua pengeluaran kebutuhan dasarnya, seperti utang dan pengeluaran biaya operasional selama bekerja. Dari sinilah negara baru bisa menetapkan seorang ASN telah berkewajiban mengeluarkan zakat profesi.

 

“Ketimbang berpolemik terkait mekanisme memungut zakat dari penghasilan, sebaiknya pemerintah membenahi mekanisme pengelolaan zakat agar lebih profesional dan transparan. Dengan begitu, kepercayaan umat terhadap pengelolaan zakat oleh pemerintah akan lebih baik," tuturnya.

 

Dijelaskan Heri lagi, zakat nyaris sama dengan pajak. Bila zakat masuk wilayah privat yang diatur hukum syariah, maka pajak masuk ranah publik.

 

“Jangan sampai muncul pandangan, pungutan zakat lewat Perpres itu adalah cara tersembunyi pemerintah untuk menutup defisit anggaran karena penghasilan pajak yang terus meleset dari target. Sementara 80 persen pendapatan pemerintah bergantung dari situ. Wacana tersebut harus ditinjau ulang dengan hati-hati. Pemerintah perlu melibatkan seluruh elemen atau organisasi Islam untuk memusyawarahkan hal tersebut,” harap Heri, lebih bijak. (mh/sf)

BERITA TERKAIT
Fathi Apresiasi Keberhasilan Indonesia Bergabung dalam BRICS, Sebut Langkah Strategis untuk Perekonomian Nasional
08-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi, menyampaikan apresiasi atas pengumuman resmi yang menyatakan Indonesia sebagai anggota penuh...
Perusahaan Retail Terlanjur Pungut PPN 12 Persen, Komisi XI Rencanakan Panggil Kemenkeu
05-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun menegaskan pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu)...
Edukasi Pasar Modal Sejak Dini Dapat Meningkatkan Literasi Keuangan Generasi Muda
04-01-2025 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI Fathi menyambut baik usulan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menginginkan edukasi...
Anis Byarwati Apresiasi Program Quick Win Prabowo: Potensi Kebocoran Anggaran Harus Diminimalisasi
25-12-2024 / KOMISI XI
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi XI DPR RI, Anis Byarwati, menyatakan apresiasi dan dukungannya terhadap komitmen Presiden Prabowo untuk menjadikan...